Setelah Piala Asia 2023, Sepakbola Indonesia Mau Dibawa Kemana?

Space, sebuah obrolan yang mendadak lewat timeline saya menjadi perhatian, begitu juga keresahan saya. Pada intinya pembahasan dalam space ini terkait naturalisasi yang jangan dijadikan program utama PSSI dalam membangun sepakbola Indonesia, jangan dijadikan program yang default sehingga generasi pengurus selanjutnya melanjutkan program naturalaisasi sebagai program utama dan satu satunya untuk membangun timnas. Jangan sampai terjadi. Sejalan dengan apa yang disampaikan STY untuk meminta PSSI memperbaiki liga nya agar level pemainnya tidak terlalu jauh gapnya ketika dipanggil timnas dengan pemain2 yang bermain di luar negeri.


 

Kiprah di Piala Asia

Kita tau bahwa STY sudah 4 tahun menjabat sebagai pelatih timnas, tetapi harus dipotong 2 tahun karena efek covid, secara efektifitas waktu yang dipakai STY sejauh ini praktis hanya 2 tahun sampai sekarang. Sama seperti Luis Milla.

Lolos grup dari grup yang masuk dalam kategori grup neraka patut berbangga hati, meskipun hanya dengan modal mengalahkan Vietnam. Bagi saya, menang ya menang, kalah ya kalah, lolos ya lolos. Gimanapun caranya, dan permainannya. Tapi sejauh ini, permainan timnas menunjukan progres yang baik. Selain itu, timnas di piala asia menunjukan kualitas individu kita masih ada gap diantara tim lain seperti timnas Iraq dan Jepang. Dan kita bisa memaklumi itu karena pemain yang kita bawa adalah tim paling muda kedua di piala asia.

Pemain dari Liga 1 yang turun dilapangan piala asia kemarin hanya yacob, ridho, dan ernando yang dipercaya STY jadi first team player, padahal di fase kualifikasi piala asia, ada banyak termasuk pemain liga 1 silih berganti dicoba oleh STY, dari kambuaya, mark, edo, dendy bahkan dimas drajad. ya kita bisa liat sendiri dilapangan performa mereka seperti apa.

Apa yang terjadi ditimnas saat ini adalah progres, ada perkembangan, ada prestasi yang harus kita apresiasi. Bagi saya kita patut apresiasi, jangan meremehkan apa yang dicapai timnas ini apalagi sampai diklaim hanya seperti kembang gula. Saya juga cukup kritis dalam proses pemilihan pemain timnas di era STY yang apalah, saya rasa setiap pemain layak diberikan kesempatan yang sama untuk menunjukan kapasitasnya dan ga milih itu-itu aja. Ada yang performanya bagus di liga, ya dikasih kesempatan di friendly match atau kesempatan lain. Dan jangan terlalu meng"anak emaskan" pemain-pemain andalannya. Saya paham bahwa mungkin saja itu salah satu cara memberikan jam terbang untuk pemain yang ingin STY develop untuk 4-5 tahun kedepan. Tapi bukan berarti apa yang dicapai STY sejauh ini sepele.

Kita udah terbiasa jadi lumbung goal lawan tim-tim tier 1. Kali ini kita mulai mengurangi defisit itu dengan bermain berada di level yang ga terlalu jauh, fighting spirit pemain juga ga kendor bahkan sampai 90 menit masih berjuang. Meskipun episode demi episode terjadi, dan gol gol konyol tercipta, tapi permainan timnas beneran ga bikin sakit mata. Saya bisa katakan apa yang menjadi hasil pertandingan tidak mencerminkan apa yang terjadi dilapangan. Bahwa kita mengejar gap itu ada. Terlepas dari itu, dia telah mencapai target pertama dari dua target yang disepakati bersama PSSI. Lolos grup piala asia. Misi pertama selesai.

Sepakbola Indonesia Mau Dibawa Kemana?

Kalo ini momentumnya untuk meminta perhatian PSSI terhadap grassroot untuk mendapatkan perhatian yang sama seperti timnas, silahkan, tapi jangan mengerdilkan pencapaian timnas saat ini. Problem sepak bola Indonesia kan klasik, kita semua sebagai penonton juga tau (sok tau juga bisa) bahkan sampai gimana cara bikin grassroot sepak bola yang benar meskipun sertifikasi juga ga punya kita bisa jelaskan secara gamblang. kita tau harus ngapain. kita ini udah jadi "gila nonton bola" itu udah lama juga. Kita juga udah cape liat timnas "gitu -gitu aja", salah passing, salah kontrol, bola gampang kerebut. Bikin sakit mata.

Target ET untuk naikin level timnasnya menurut saya sudah berada di jalan yang benar. Sejauh ini baru keliatan langkah nya naikin level timnas melalui program naturalisasi ini. Dan ternyata program naturalisasi jika dikelola dengan baik, benar-benar bisa berdampak ke timnas cukup signifikan juga. Mampu mengangkat performa timnas ke level yang lebih tinggi. Kita bisa liat naturalisasi dari jaman Christian Gonzales juga paham betul dan udah jadi pro kontra dalam membangun timnas sejak saat itu. Tapi kali ini, saya harus apresiasi tersendiri dalam proses "rekrutmen" naturalisasinya. Ga asal comot, tapi ada proses scouting talent disana yang sebelum-sebelumnya sepertinya ga dilakukan. Ada proses mendengarkan saran pelatih juga ketika menentukan pilihan pemain naturalisasi. Jadi nama-nama pemain naturalisasi yang terjadi di era ET ini menurutku dan sejauh ini tidak sembarangan dan penilaian saya di atas level individu pemain yang bermain di liga 1.

Dan kita juga sepakat naturalisasi itu ga masalah selama tidak dijadikan program andalan. Maka ada program program penunjang lainnya untuk meningkatkan level timnas selain program naturalisasi. 

Misalnya 

Menaikan Level Liga Domestik

Sebenernya saya bukan mau belain ET dan jadi buzzernya ET ya, tapi langkah dia dan visi misi dia dalam membangun sepak bola ini udah benar. Kalo saya nilai, apa yang dilakukan ET udah kebijakan orang bola lah. Ga kaya pendahulunya yang kebijakannya bener2 berdasarkan ngawang-ngawang orang politik. Lucu kalo kita cerita ketum-ketum sebelumnya. Tapi bukan berarti kita ga boleh kritik kebijakan ET. Saya rasa alasan mendasar kenapa kritikan dalam space ini muncul karna semakin mengkhawatirkannya liga domestik yang sering terjadi dan kejadian kejadian konyol berulang kali, juga PSSI seperti tidak banyak bertindak dan terkesan cuek dengan apa yang terjadi. Dari masalah yang paling klasik pertama sepak bola Indonesia, telat bayar gaji. Saya pernah mendengar cerita teman saya yang bekerja di tambang mengurus "dana sponsor" ke tim daerahnya. Teman saya berkeluh kesah mengenai perusahaannya tidak memasukan dalam baju yang mereka pakai. Lalu menceritakan bagaimana tim daerah ini beroperasi. Singkatnya saya bisa simpulkan dari cerita ini bahwa tim-tim di Indonesia ini masih dikelola layaknya tim karang taruna. Sudah menjadi rahasia umum, jika musim ini bisa mendapatkan penghasilan mencapai 30Milyar, belum tentu musim depan akan mendapatkan angka yang sama, bisa diatasnya bisa dibawahnya, bahkan dalam selisih gap yang cukup jauh misalnya bisa hanya mendapatkan 10Milyar. Ketidakpastian dalam pendapatan saja sudah bisa mencerminkan bagaiamana tim ini beroperasi. Bagaimana bisa sebuah klub mengontrak pemain lebih dari satu musim jika timnya saja ga yakin musim depan mempunyai penghasilan sesuai dengan forecastnya. Maka solusinya dikontraklah pemain tersebut satu musim, kalo bagus ya lanjut, sambil melihat kondisi keuangan yang sedang berjalan, dari sini saja kita bisa menilai bagaimana apakah bisa sebuah tim sustainable untuk membangun kekuatan yang terus menjadi lebih kuat dari musim ke musim, kalo tim musim ini saja belum tentu sama dengan tim musim berikutnya. Bagaimana tim juara bisa mempertahankan posisinya di musim berikutnya? Kontrak jangka pendek akan menyebabkan transaksi dari seorang agen/pemain menjadi lebih sering terjadi di tiap musimnya. Ketika klub merasa mampu secara finansial, pemain yang akan habis kontrak akan ditawari kontrak baru, transaksi yang sering terjadi ini memiliki 2 kecenderungan bagi pemain yang bermain apik dimusim sebelumnya, mendapatkan tawaran dari klub lain yang lebih besar atau minta naik gaji yang lebih besar dari klubnya. Dalam hal ini saja sudah bisa menyebabkan inflasi gaji pemain liga tidak bisa terhindarkan. Pro nya adalah ketika dia main jelek, kita ga pusing putus kontrak karna keputusannya tinggal menunggu kontrak habis dan tidak diperpanjang, Kontra nya adalah jika dia main bagus, kita pusing karna pemain minta naik gaji atau ada penawaran dari tim lain dan dilepas tanpa fee transfer.

Hal ini menyebabkan efek yang berlanjutan juga, pemain cenderung lebih memilih bermain di level nasional saja dan tidak mau pergi ke luar negeri karena dari segi penawaran gaji di liga 1 lebih besar. Bayangkan saja, pemain jepang Taisei Marukawa yang belum pernah sekalipun bermain di liga jepang, mengakui bahwa gaji liga Indonesia sudah setara dengan liga Jepang, sekali lagi, belum pernah bermain di liga jepang sudah mendapatkan gaji yang setara dengan liga jepang, ditambah biaya hidup jauh lebih murah di Indonesia. Menggambarkan perbedaan yang sangat mencolok dari kemampuan bermain dan gaji itu sendiri. 

Management keuangan klub menjadi issue utama dalam liga domestik kita. Bagaimana mengelola keuangan dengan baik dari segi sistem gaji, operasional, dan pendapatan yang seharusnya secara sederhana bisa diterapkan. ET sudah mencoba melakukan terobosan lebih dulu di keuangan PSSI, dan tahun ini adalah tahun pertama laporan keuangan yang dikelola seharusnya sudah bisa di audit secara utuh transaksinya. Dan hasil laporan audit tahun-tahun sebelumnya oleh Ernst & Young tidak bisa memberikan opini karena data yang dibutuhkan tidak tersedia. Terobosan ini penting, bahwa organisasi tertinggi harus bisa memberikan contoh kepada anggotanya bahwa mereka bisa berbenah. Seharusnya tanpa perlu menunggu PSSI berbenah lalu klub ikutan dibelakangnya berbenah, tapi bisa dimulai dari sekarang desak management klub untuk berani audit laporan keuangan klubnya. Perbaikan organisasi ini ga bisa langsung jadi, butuh proses belajar, proses penyesuaian, tidak bisa dinilai sempurna dalam waktu dekat, tapi menunjukan sisi progresnya, langkah yang baik diambil untuk lakukan audit laporan keuangan. Dari langkah ini, akan ada catatan catatan terkait laporan keuangan, dalam hal ini juga melahirkan kebijakan kebijakan baru yang baik untuk klub nya, misalnya audit memberikan catatan laporan auditnya bahwa banyak biaya-biaya lain yang tidak terurai dan dipisahkan sesuai dengan kaedah PSAK (Standar Akuntansi), hal ini bagus untuk management untuk melihat kinerja organisasi dalam melaksanakan tugasnya, sekaligus adanya koreksi dan pembenahan, perbaikan dari segi pelaporan yang transparan, dan bisa juga menjadi landasan analisa untuk kedepannya. Sekaligus meminimalisir terjadinya fraud didalam organisasi. Bahkan bisa menjadikan sebagai nilai tambah bagi investor yang ingin berinvestasi kedalam sebuah klub.

Sambil belajar bikin laporan keuangan, langkah selanjutnya untuk klub adalah memandang klub sebagai sebuah perusahaan bisnis di industri. Maka elemen pendapatan yang menjadi perhatian secara umum dalam klub sepak bola biasanya, penjualan tiket, merchandise, sponsor, dan hak siar menjadi utama. 4 elemen ini yang secara progresif mendongkrak pendapatan klub, mungkin ada alternatif lain seperti transfer fee. Tapi kita ga usah muluk-muluk, cukup di situ saja. Kita ga perlu memaksimalkan semua secara bersamaan. Dalam hal ini, yang bisa dimaksimalkan untuk klub di negara yang "gila nonton bola" seharusnya sangat mudah untuk mengelola pendapatan dari segi penjualan tiket dan merchandise. Jika kita belajar pada klub MLS, liga mereka mengandalkan tiket sebagai pendapatan utama mereka. Jadi saya rasa, ga ada alasan untuk klub mampu menghasilkan pendapatan secara konsisten. Ketika pendapatan bisa diukur, maka biaya operasional dan biaya biaya lainnya termasuk biaya gaji juga bisa kita hitung sebelum liga berjalan. Sehingga management bisa untuk mengalihkan fokusnya ke dalam hal-hal lain. Seperti Youth Development Program atau Scouting Talent. 

Masalah klasik lainnya di liga domestik yang harus segera diselesaikan, kualitas wasit. Saya punya teman yang punya lisensi wasit C-1 PSSI yang belum pernah sekalipun mendapatkan tugas bermain di level liga 1 maupun liga 2, padahal dia sudah 10 tahun lebih punya lisensi tersebut. Dia sudah "mengorbankan" karir pekerjaannya hanya demi untuk menerima panggilan tugas di level Asprov. Dari sini bisa kita gambarkan bahwa wasit masih menjadi issue, dari bagaimana dimulai dari mendapatkan lisensi, sampai akhirnya bertugas. Tidak ada transparansi dalam proses seleksi dan ketidakpastian kompetisi, berimbas juga pada level wasitnya. Karna mereka juga harus makan dan memenuhi kebutuhan keluarganya, terpaksa harus mencari pekerjaan sampingan. Coba bayangkan saja, diluar kompetisi dia tidak punya kewajiban untuk meningkatkan kualitas memimpin pertandingan, justru harus bergelut dengan kebutuhan yang lebih mendesak. Saya rasa saat ini wasit tidak menuntut gaji yang tinggi, tapi lebih kepada kepastian. Solusi terbaik bagi PSSI adalah memberikan kontrak per tahun kepada wasit layaknya pemain, sehingga adanya kepastian bahwa mereka digaji per bulan, sehingga mereka memiliki keterikatan yang tidak bisa dia gunakan untuk mencari pekerjaan sampingan, sehingga mereka juga memiliki tanggung jawab atas pekerjaannya untuk terus berkembang dan belajar menjadi wasit profesional. Dan hal ini juga dibutuhkannya kompetisi yang reguler.  

Isu yang terjadi soal mafia wasit bagi saya juga masih ada yang jauh lebih prioritas dalam pembenahan sebelum masuk ke isu tersebut. Jika melihat apa yang terjadi di lapangan, keputusan keputusan yang dibuat wasit lebih banyak dalam hal "human error" ketimbang permainan intrik-intrik memainkan hasil pertandingan. Contoh saja offside, bagi saya, ini sih hakim garisnya aja yang perlu di uji lagi kelayakannya. Butuh dilatih jika ingin akurat dalam membuat keputusan offside, ga bisa minggu nya jadi wasit, senin-jumat jadi instruktur ditempat lain. Pentingnya Pembinaan wasit secara rutin dari misalnya review pertandingan, praktek, pemahaman foul mengikuti rulebook yg update juga penting sehingga menghasilkan keputusan keputusan yang tepat dan tidak kontroversial. Realitas yang terjadi saat ini ya pelatihan pembugaran dari asprov, seleksi, lalu tugas, itupun akan terjadi jika ada kompetisinya, jika tidak ada kompetisinya ya asprov libur panjang.

ET menjanjikan adanya bantuan VAR untuk meningkatkan kualitas wasit. Janjinya paruh musim tahun 2023/24 akan terpasang dibeberapa titik dan menjadi masa percobaan musim ini. Dia sendiri yang berjanji, Saya pikir masuk akal hal ini dulu yang kita tagih dalam proses meningkatkan kualitas liga domestik. 

Status Kuota Pemain Asing adalah salah satu program yang dibentuk ET untuk meningkatkan liga domestik. Saya setuju soal ini, Liga Brazil kuota asing 5 pemain, Liga Jepang kuota asing 5 pemain, Liga Spanyol 3 Pemain Non-UE, Liga Italy boleh membeli pemain pemain Non-UE per musim 2 pemain, Liga Inggris kuota asing 17 pemain atau minimum 8 pemain homegrown (pemain binaan liga domestik). Kalo kita mau jadi negara yang menyumbang pemain-pemainnya ke liga eropa, langkah ini sudah tepat mengikuti langkah brazil dan jepang. Tapi kalo mau membuat liga kita menjadi liga yang komersil, ikuti liga inggris yang kita semua tau pemegang hak siar termahal didunia saat ini ya liga inggris. Saya pikir langkah ET sudah tepat dalam meningkatkan kualitas liga itu sendiri jika ingin pemain kita bersaing ke level eropa. 

Liga domestik harus didukung infrastruktur, infrastruktur yang baik akan menghasilkan pemain yang baik pula. Ga usah muluk-muluk. Infrastruktur dengan rumput berstandar FIFA. Hal ini saja ga semua klub liga nasional bisa menerapkan, bahkan saya melihat liga 2 masih menggunakan rumput sintetis untuk menjalani kompetisinya. Saya rasa standar FIFA yang cocok di liga nasional itu rumput hybrid yang dijait seperti kompetisi piala dunia u-17 kemarin. Pengalaman menjadi tuan rumah sebagai bahan pembelajaran berharga terkait pengadaan rumput berstandar FIFA, meskipun untuk level piala dunia u-17 grade nya ga terlalu tinggi, tapi kita bisa mulai benahi liga domestik dengan infrastruktur yang memadai.

Infrastruktur pendukung lain adalah training ground (tempat latihan). Kita sering mendengar bahwa sebuah klub di Indonesia hari ini bisa saja bermain di lapangan A, besoknya kita gatau mau latihan di lapangan mana. Hal ini seperti hal yang wajar terjadi. Saya rasa konsistensi itu sangat dibutuhkan untuk sepak bola, dengan training ground milik klub pribadi, kita bisa fokus meningkatkan performa kita dari hari ke hari, bukan malah fokus adaptasi dengan lingkungan yang berubah-ubah. Besok lapangannya becek, Besoknya lagi lapangannya kering, besoknya lagi lapangannya tidak merata. Bagaimana kita mau bicara sepak bola yang maju, jika hal seperti ini saja sering terjadi. Saya pikir kita harus fokuskan tim untuk membangun mandiri training ground jauh lebih darurat ketimbang fokus mencari pemain-pemain mahal untuk mendongkrak prestasi klub, training ground selain bisa menjadi aset dan value lebih untuk klub, training ground adalah kebutuhan dasar dari sebuah klub sepak bola.

Merangkum sedikit, bahwa masalah klasik sepak bola Indonesia ini ga cuman masalahnya di PSSI saja, tapi kita perlu mendesak banyak pemangku kepentingan untuk peduli pada hal-hal mendasar terlebih dahulu, baru bicara prestasi. Jika hal-hal mendasar saja belum terpenuhi, saya rasa ga pantas kita bicara banyak mengenai kemajuan sepak bola. Tentu sebagai induk PSSI berperan menggerakan semua hal bisa terjadi secara bersamaan. Peran PSSI dan kesadaran klub penting untuk saling kolaborasi.

Mendorong Program EPA Lebih Luas

Lagi-lagi masalah klasik. Program pengembangan pemain muda adalah grassroot football yang menjadi fondasi rumah sepak bola. Program yang dilaksanakan ET dalam hal pengembangan pemain muda sudah dijalankan, tapi tidaklah cukup. EPA (Elite Pro Academy) yang dibentuk akhir-akhir ini hanya melahirkan kompetisi dengan format tournament system gugur yang membuat pemain-pemain muda mempunyai kesempatan yang sangat sedikit. Tournament ini bukan cerminan kompetisi mengembangkan pemain muda, bayangkan saja diusia muda mereka, nasib mereka ditentukan dalam fase gugur, semakin bagus prestasi tim kelompok umur tersebut, semakin besar peluang mereka mendapatkan spotlightnya dari tim-tim kelompok umur tingkat diatasnya atau dari klub-klub junior liga. Hal ini sangat tidak menggambarkan pengembangan, tidak memberikan ruang untuk pemain berkembang dan hanya ditentukan oleh keberuntungan dan kekuatan tim tersebut.

Menurut saya, seorang pemain yang sudah berusia 20 tahun idealnya sudah melewati sekitar 300 pertandingan semasa hidupnya. Yang artinya sekitar 30 pertandingan disetiap tahunnya. Bukan sistem gugur yang sangat ditentukan oleh performa tim, jika kalah, maka pertandingan dia terhenti sampai disitu. Apalagi model kompetisi yang hanya selesai dalam jangka waktu 1 bulan saja. Bagaimana kita bisa mendapatkan pengalaman dan belajar dari kesalahan, belajar hal-hal dasar sedangkan wadahnya saja tidak ada? 

Seharusnya EPA diperluas bukan hanya kompetisi tahunan yang disusun berdasarkan anggota klub. Kita ambil contoh saja kita buat EPA di daerah jakarta maka akan ada liga kelompok umur, bukan kompetisi yang menggunakan sistem gugur. Misalnya EPA U-14, peserta nya bisa dengan cara bekerja sama dengan SMP-SMP dijakarta. Atau EPA U-19, pesertanya bisa dengan cara bekerja sama dengan SMA-SMA dijakarta. Atau EPA U-21, pesertanya bisa dengan kerja sama dengan Perguruan Tinggi setempat. Sehingga budget EPA lebih fokus kepada operasional wasit, inspektur pertandingan, level keamanan seperti kepolisian, dan gaji pengurus-pengurus operator liga. Sekolah akan secara mandiri menyiapkan lapangan, menyiapkan pemain beserta kelengkapannya, serta pelatih. Untuk level EPA U-10, EPA U-7 sebaiknya tetap diselenggarakan pihak swasta seperti SSB dan fokus SSB mengajarkan anak didik untuk memahami dasar-dasar sepak bola, bukan diajarkan berkompetisi.

Mendorong Pemain Indonesia Untuk Bermimpi Bermain di Level Eropa

pemain kita sangat sulit untuk menyentuhkan kakinya di level eropa terutama tiga terbaik eropa. Kenapa? banyak liga eropa yang mempunyai syarat kuota pemain asing dan status kita di liga eropa ya pemain asing. Cara untuk bisa minimal bertahan di level eropa adalah memiliki paspor eropa. Dwi Kewarganegaraan untuk atlet diaspora seharusnya diperhatikan atau diatur dalam undang undang tersendiri, saya rasa ini penting untuk bisa membuat pemain kita mudah bersaing di level kompetisi eropa. Kita ini sangat sulit menembus kompetisi eropa terutama di tiga liga terbaik eropa italy, inggris, spanyol, salah satunya ya karna masalah paspor.

Kita ambil contoh saja brazil, disana menganut dwi kewarganegaraan, ketika mereka menginjakan kaki di spanyol atau italy misalnya, mereka dalam waktu satu atau dua tahun sudah punya paspor negara tersebut. Sehingga status mereka bukan lagi pemain asing, tapi pemain lokal di liganya. Ga heran kita sering melihat banyak sekali pemain argentina atau pemain brazil banyak bermain di liga top 3 terbaik di eropa, begitu juga pemain yang lahir dan berkembang di tanah brazil misalnya akhirnya membela negara yang ia miliki paspornya seperti italy. Dari hal ini saja sudah memberikan gambaran bahwa konstitusi kita tidak mendukung atlet kita untuk berpentas di level tertinggi sepak bola. 

Ditambah anda bisa bayangkan bagaimana pemain naturalisasi ini berjuang di level eropa. Mungkin Justin Hubner dan Elkan Baggot mendapatkan status homegrown nya di liga inggris tanpa perlu paspor ganda karna dia sudah 5 tahun ada di akademi inggris sehingga statusnya berubah menjadi homegrown. Tapi pemain-pemain lain yang hanya mungkin memiliki paspor belanda dan berpindah menjadi paspor Indonesia. Tanpa mereka sadari bahwa paspor mereka ini berubah dari paspor EU menjadi paspor non-EU yang bisa berdampak ke beberapa negara yang memiliki kuota pemain non-EU jika ingin bermain di level top 3 liga eropa.

Sebenarnya kita bisa mengikuti jepang bagaimana mereka mulai mengirim banyak pemainnya ke bundesliga. Saya rasa bundesliga adalah salah satu liga terbaik eropa yang bagus untuk iklim sepak bola Indonesia. Mereka tidak memiliki aturan kuota pemain asing, jadi siapapun yang layak akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk bermain di liga jerman. Pantas saja pemain jepang selalu memulai karir sepak bolanya dimulai dari liga jerman.


Comments