Politik Dari Sudut Pandang Soe Hok Gie


Indonesia, ada banyak hal yang menjadi concern bukan hanya pemerintahnya saja, tapi mentalitas orangnya pun juga. Saya heran dari awal, mengapa orang yang bagus, jujur, punya mental membangun justru tak dibutuhkan di negeri ini, justru orang – orang yang lincah dalam bersilat lidah, pintar berdiplomasi, bahkan lihai dalam mencari “celah” lebih sukses mengambil hati masyarakat indonesia.



Saya teringat ketika ada satu nama akun twitter ternama mengatakan “Jika dukungan kita menang, tidak boleh jumawa, kita harus tetap mengawasi kepemimpinanya” tapi fakta yang muncul, tak pernah sekalipun saya melihat dia koar – koar mengkritik keras pemimpin dukungannya yang menang. Munafik! Inilah mental yang harus dirubah, perubahan seperti apa yang diharapkan? Pasukan nasi padang, nasi rames, dll. Kita adalah bagian dari kemunafikan bangsa ini. Inilah salah satu sebab akibat yang muncul dari sistem yang kita miliki. sistem inilah yang menciptakan kaum kaum pasukan nasi liwet. Sudah saatnya kita rubah sistem dalam pemerintahan.

Mungkin sistem yang berjalan di pemerintah ini sudah bobrok, sudah usang, dan permainan yang diperagakan selalu sama,  mudah dibaca. Kita selalu mempunyai kelemahan dalam memilih pemimpin karena yang diajukan selalu tak sesuai selera pribadi. Disamping itu, kita tidak punya pilihan lain selain memilih calon yang itu itu saja. Ketika muncul perubahan kecil, sudah mulai booming lalu gampang disetir, mudah goyah, disenggol dikit gusar.

Saya masih ingat dijaman Pak Habibie, pintar, pamor terbaiknya bisa bikin pesawat, kereta, dan insinyur terbaik bangsa, bahkan jerman sangat menghormati beliau. Orang seperti ini sungguh jenius, tak diragukan lagi. Tapi ketika beliau menjabat sebagai presiden, mohon maaf, tak sesuai ekspektasi. Mengapa? Salah satu alasan yang paling mudah untuk dijawab adalah Leadership. Banyak kebijakan yang pro dengan rakyat tapi tak dibarengi dengan diplomasi yang baik. Untuk mendapatkan hati rakyatnya, kita terlebih dulu mampu merangkul berbagai kalangan, inilah sebuah karakter pemimpin dibutuhkan. Habibie tak pandai memimpin, rasanya banyak yang melawan kepemimpinannya. Inilah yang menjadi habibie terlihat lemah.

Soeharto, beliau telah menjadi bagian dari pengambil alihan Soekarno. Beliau lah orang yang “berjasa” menyelamatkan indonesia dari belenggu negara kapitalis. Soekarno memang orang yang menjadi founding father, orang paling bersejarah, punya kharisma, disegani banyak negara, karna tak lain karakternya yang gagah berani,  beliau lah sejarah indonesia ini ada, dan menjadi orang yang berjasa memerdekakan bangsa indonesia. Tapi namanya manusia, punya kelemahan, begitu juga Pak Soekarno, menjabat menjadi presiden masih belum puas, banyak memikat wanita, humoris, pandai berdiplomasi, tapi punya kelemahan ketika tak bisa menjaga nafsu untuk tetap ingin menjabat sebagai presiden. Saya baru sadar, ternyata dijamannya indonesia hampir saja masuk ke arah kanan. Berkat perjuangan para pemuda yang ada dibalik para pejuang dengan nama besar, mereka lah sebenarnya otak dalam semua strategi yang dijalankan dari Soekarno.

Ane baru saja terperangkap pada momen setelah menonton film Soe Hok Gie, dialah mahasiswa UI yang menjadi pemain nomor satu dalam strategi mengkritik Soekarno. Dialah nama besar yang menjadi momok paling menakutkan bagi pemerintah karena kritikan pedasnya, selalu mengkritik tepat pada poinnya, melihatkan fakta sesuai realita, pedas dan tegas tanpa pandang bulu. Tapi saya terperanga ketika Soe (nama panggilan Soe Hok Gie) menjadi resah setelah soekarno turun, bukankah itu tujuan dari perjuangan Soe selama ini? Bukan, bukan itu. Tapi bukan itu yang Soe impikan, ketika pemerintah diambil alih oleh militer.  Ane baru sadar ketakutan apa yang meresahkan Soe. 32 tahun dibawah rezim militer, tak jauh beda dengan apa yang dilakukan soekarno dengan menurunkan keputusan pengangkatan presiden seumur hidup.

Kali ini, perubahan besar dalam sistem, pemilu. Berkat perjuangan para pemuda pemuda yang berani mengawali perubahan besar. Pemuda lah yang mengambil alih tahta kepresidenan, dan mereka kembalikan kepada masyarakat. Mimpi Soe telah terwujud. Kita memiliki kemerdekaan dalam memilih, kita bebas menentukan pilihan kita sesuai dengan hak kita. Namun, justru yang menjadi sorotan adalah mental masyarakat kita sendiri.  Apakah sudah cukup ideal memilih pemimpin yang anda segani, berdasarkan dengan apa yang anda inginkan. Disatu sisi, saya merasa tak punya pilihan lain. Kita adalah bagian dari kemana negara ini akan dibawa. Golput juga bukan solusi memecahkan masalah.

Saya inginkan adalah sebuah kesetaraan, pluralisme, apakah saya masuk dari kategori berpikiran plural? Tanpa memihak? menerima perbedaan? bagi saya semua dimata saya sama, yang saya harapkan semua bisa menilai secara obyektif.

Tapi saya baru ingat, kalo Soe adalah orang etnis Tionghoa. Dengan latar belakang beliau, tanpa sadar dia sedang memperjuangkan haknya, dia adalah bagian dari njomplangnya perilaku terhadap etnisnya. Dijaman itu, sinisme terhadap orang bermata sipit sangat tinggi. Atas nama "pluralisme" dia memperjuangkan untuk rasnya. Karena itulah bagian dari dirinya yang tak bisa lepas. Sikapnya yang tumbuh atas ketidak adilan akan takdirnya.


Comments