Ketika Kehilangan Kebebasan dalam Berekspresi di Sosial Media


Sudah lama rasanya menikmati bersosial media dengan nada galau, senda gurau tanpa rasa ragu untuk mengungkapkan nada kurang pantas sekalipun. Untuk generasi muda tentu saja mahfum dengan kalimat kalimat yang kita sanding sebagai kalimat “gaul”. Ada saja ketika mengatakan “tai” adalah hal yang wajar orang katakan ketika sedang kesal dengan teman segenerasinya. Tentu saja setiap pergaulan memiliki fasenya sendiri-sendiri dan karena itu adakalanya saya mendapati diri saya bisa saja geleng kepala berulang kali melihat aksi – aksi yang lebih liar dari generasi dibawah saya. Selalu saja dibenak hati, “pas jamanku ngga seperti itu”. Begitu juga dengan generasi saat ini, dengan fasih berujar bahwa jaman sebelum generasi kita akan merasa ada benturan shock dengan kultur budaya yang berbeda dari masanya.

Yang mengganjal adalah diri saya tak ingin di ekspos besar-besaran melalui social media oleh keluarga saya sendiri. Dengan kata lain biarkan orang melihat dengan cara pandang mereka ketika kami bercengkrama, bukan berdasarkan seberapa besar tingkat kegalauan akut yang saya sebar di dunia maya, atau seberapa vulgar kalimat yang kami ucapkan, atau bisa juga debat kusir yang kita peragakan di social media. Sosial media memang satu budaya yang tidak ada filter untuk kalangan usia tertentu. Dengan begitu banyak hal yang tak serta merta kita akan menelan mentah-mentah setiap kalimat yang ada di social media. Konotasi ini sering ditelan mentah oleh generasi sebelumnya dengan tak bisa mengimbangi generasi penerusnya.

BEDA USIA LAIN CERITA

Nampaknya, ada rasa sungkan untuk diketahui oleh orang yang kita rasa mereka tak perlu mengetahuinya. Begitulah saya, maka dari itu saya paling anti urusan untuk memberikan les kilat mengajarkan cara bermain facebook kepada ibu. Mengapa? Sederhananya, saya tak ingin “diawasi”. Ketika dengar pertanyaan, “pit, mama buatin facebook gimana caranya ya?”. Segera saja bergegas untuk cari kegiatan cuci piring yang saya pikir tak bisa diganggu. Bergegas masukin headset, smartphone, dan dompet ke tas, lalu kabur.

Rasa khawatir saya ini benar terjadi, beberapa hari berikutnya,ibu saya sudah ada di daftar permintaan pertemanan dan sudah pasti tersangka utamanya adalah adik saya yang sudah termakan sogokan mie ayam. Setega-teganya kamu pada seorang ibu, jangan sampai cancel pertemanan dengan ibumu di facebook. Takut kualat. Inget surga aja bawaannya. Sudah pasti ketika kita terima permintaan pertemanan dari keluarga terdekatmu, yang dilakukan adalah “stalking” semua nya dari paling baru dikomen dan sampai histori terlawas di like. Ketika itu, saya merasa terenggut hak saya berekspresi di dunia maya. Rasanya takut untuk berbicara dikeramaian. Ikut berpartisipasi pada pesta kegalauan. Rasa ini langsung terganjal pada pemikiran komentar apa yang muncul jika saya pasang status seperti itu.

Mengapa? Tentu saja ini ada semacam hormon yang masih nempel karena takut dicap anak mamih yang masih manja minta jajan lollipop sambil narik-narik baju mamanya. Atau sekedar informasi saja, kebanyakan profile page milik laki-laki sudah pasti di isi oleh obrolan para lelaki yang ada disekitarnya, obrolannya tentu obrolan generasi kami yang biasa kami sebut ”bercanda”. Fungsi bercanda inilah yang sering disalah artikan oleh generasi sebelumnya. Bagi generasi tertentu akan mengatakan bahwa kalimat kalimat yang kami keluarkan hanya candaan dari sarkasme yang dilontarkan pada kronisnya jaman ini. Mungkin benar saja bila dalam benak ibu saya akan berujar, ini anak beneran “make” apa ya. (read; drugs)

“amin, kamu pasti bisa kok mas” komentar yang keluar pertama kali dibawah status tak bukan tak lain dari orang yang saya khawatirkan di dunia maya, yaitu ibu. Setelah itu, masih ada tahap interograsi yang harus saya lewati. Sepulang sampai rumah, “kenapa mas, cerita”. Saya selalu bilang pada ibu saya dan yang sering membuat kami jarang saling bercurhat ria adalah masalah saya tak suka diajari dan saya pikir itu bukan urusan ibu saya. Terlebih saya hanya butuh pendengar yang baik. Mulailah kami sedikit berargumen, awalnya hanya sekedar numpang curhat malah berujung pada nasehat ini itu yang keluar dari konteks. Sudah jatuh rugi bandar. Dan kali ini malah saya yang ketiban curhat. Weleh.

Kasus lama sudah ditutup. Artinya saya sudah lelah dengan facebook, hanya sekedar ikut berkomentar , share post blog, like photo, atau stalking mantan. Tak jauh seperti itu terus menerus. Saya rasa hal ini yang membuat saya menahan diri untuk berstatus dengan leluasa.  Well , saya alihkan dengan berpindah tangan pada twitter dan social media lain yang belum terjamah oleh ibu. Tentu saja, ibu - ibu juga memiliki hak untuk mengekspresikan dirinya di dunia maya. ini menjadikan salah satu alasan saya berperan sebagai “silent reader” untuk tetap diam di dunia maya namun tetap mengikuti perkembangan social yang ada di dunia maya.

Comments

Popular Posts