Antara Mitos dan Nasehat Ibu
Ku ingat kawan, Sedikit gila rasanya jika mengingat urusan yang berhubungan dengan cicak. Memang aku mengira-ira apa yang terjadi sebelumnya, malam dimana aku masih duduk dibangku SMP aku bermalam dan bercengkrama lama di rumah temanku. Lebih lama karena aku tak pernah datang ke rumah temanku ini sebelumnya. Memang ijin awal tak lebih dari sekedar kerja kelompok, tapi dari obrolan panjang yang kuhabiskan dirumahnya, yang kutangkap di sepanjang perjalanan pulangku justru berkutat dari mitos yang ditertawakan waktu itu. Ketika tai cicak tepat dikepalaku, yang mendadak, Tio, temanku nimbrung dengan nada dukun cabul kalo aku bakal ketiban sial. Korelasi macam apa yang bisa menghubungkan antara tai cicak dengan keberuntungan anak orang? Takabur kupikir, mendahului predikat takdir Tuhan.
Disaat kami beranjak untuk pulang, dia menyampaikan mandat untukku setelah perbincangan intens tadi dengan kalimat “awas dijalan”, begitulah celetuk nya sambil memberikan ekspresi super setan. Aku harus berhati-hati dan perlahan mulai paranoid dengan parade kebodohan masal yang dibuat oleh calon pemimpin masa depan itu. Kupikir dia cukup meyakinkan. Pikirku. Karena tak lain dari peringkat kelas yang dia emban dipundaknya yang sudah tak bisa diragukan lagi kata-katanya. Dan sepanjang perjalanan pulangku laju kilometer sepeda butut ku tak lebih dari 10 km/jam. Dan aku lebih memilih untuk berfirasat bahwa semuanya hanya dari bualan mitos belaka. Aku hanya berujar lebih baik tak perlu ambil pusing soal cerita rakyat jaman perang atau sebagian kepercayaan miring mirip hipster ini. Hanya pecinta serial tv dunia lain yang percaya dengan hajat nenek moyang. Malam itu aku pulang dengan seperti biasa, dan aku mulai menyadari kalo semakin pintar seseorang akan semakin percaya dengan hal hal halusinasi. Pulangku baik-baik saja kawan.
Esok harinya, pada sepenggal siang bolong aku seperti biasanya kala itu. Kembali alasan paling klasik, kerja kelompok dirumah teman. Selain suguhannya enak, ber-AC, suasananya kadang jauh lebih bikin betah untuk berkamping ria di rumah orang daripada selonjoran dimester rumah. Sebelum pulang ke rumah masing-masing, sudah menjadi adat kami untuk menikmati senja dengan bermain sepakbola di lapangan sekitar komplek rumah temanku dengan menggunakan gawang sandal. Rasa bahagia yang dihasilkan dari pekerjaan mulia mengolongi teman, nutmag, membuat hati ini sedikit berlebihan untuk mengingatnya. Hari itu entah ada angin apa aku meminta ijin untuk mengendarai sepeda motor. Malas kupikir. Cuaca panas, takut hitam, bisa dijadikan alasan patenku. Sudah jelas bahwa usia masih kerdil ingin mengendarai kendaraan bermotor sudah sewajarnya harus punya ijin mengemudi. Sebenarnya tak lebih dari kalimat belum cukup umur yang mengganjal dikepalaku. Aku ingin cepat dewasa rasanya waktu itu. Waktu itu kawan.
Suasana mistis sebenarnya sudah aku rasakan sebelum berangkat menuju ke rumah temanku. Tapi aku sudah lupa semalam dukun cabul telah memberikanku sebuah mandat. Pulangku lebih awal dari biasanya, aku mulai mengekspresikan diriku sebagai pembalap nomor wahid di moto gp sore itu. Kuanggap tikungan sebagai belokan sirkuit sentul bak valentine rossi menikung nicky heyden di lap terakhir. “Kraaaaaaakkkk”. Mendadak motor tak bisa melaju. Jika valentine rossi akan marah-marah tak bisa meneruskan balapan, maka aku lebih memilih untuk panik dengan ekspresi kecewa seperti seorang striker gagal cetak gol didepan gawang. Memegang kepala adalah salah satu alibi paling kuat untuk menahan rasa malu. Hal pertama yang muncul dikepala adalah bagaimana caranya pulang dengan rantai motor yang mangslep begini. Sudah tak tertolong lagi. Dijalan yang sepi hunian dan apalagi kantong saku yang sudah pasti jauh dari harapan rasa - rasanya hidup ini tak adil. Ingin kutinggal saja motornya, tapi aku tak segila itu. Disepanjang pulangku sambil membetulkan rantai yang mangslep, aku telah kalah pada perdebatan tentang mitos ini, Mitos yang membuat aku harus rela percaya tentang jatuhnya tai cicak adalah suatu pertanda. Kupikir tak kalah penting hari itu yang membuat otak ini sedikit bekerja bahwa aku mendapatkan peringatan apa yang orang tua katakan ada benarnya, walaupun aku telah berpegang teguh bahwa orang tua itu irasional dan old fashioned (read:kuno). Sesampaiku dirumah memang sudah sepantasnya mendengarkan kalimat mujarab orang tua, Yang kadang kita tahu alasan mengapa mereka mengatakan tidak.
Suasana mistis sebenarnya sudah aku rasakan sebelum berangkat menuju ke rumah temanku. Tapi aku sudah lupa semalam dukun cabul telah memberikanku sebuah mandat. Pulangku lebih awal dari biasanya, aku mulai mengekspresikan diriku sebagai pembalap nomor wahid di moto gp sore itu. Kuanggap tikungan sebagai belokan sirkuit sentul bak valentine rossi menikung nicky heyden di lap terakhir. “Kraaaaaaakkkk”. Mendadak motor tak bisa melaju. Jika valentine rossi akan marah-marah tak bisa meneruskan balapan, maka aku lebih memilih untuk panik dengan ekspresi kecewa seperti seorang striker gagal cetak gol didepan gawang. Memegang kepala adalah salah satu alibi paling kuat untuk menahan rasa malu. Hal pertama yang muncul dikepala adalah bagaimana caranya pulang dengan rantai motor yang mangslep begini. Sudah tak tertolong lagi. Dijalan yang sepi hunian dan apalagi kantong saku yang sudah pasti jauh dari harapan rasa - rasanya hidup ini tak adil. Ingin kutinggal saja motornya, tapi aku tak segila itu. Disepanjang pulangku sambil membetulkan rantai yang mangslep, aku telah kalah pada perdebatan tentang mitos ini, Mitos yang membuat aku harus rela percaya tentang jatuhnya tai cicak adalah suatu pertanda. Kupikir tak kalah penting hari itu yang membuat otak ini sedikit bekerja bahwa aku mendapatkan peringatan apa yang orang tua katakan ada benarnya, walaupun aku telah berpegang teguh bahwa orang tua itu irasional dan old fashioned (read:kuno). Sesampaiku dirumah memang sudah sepantasnya mendengarkan kalimat mujarab orang tua, Yang kadang kita tahu alasan mengapa mereka mengatakan tidak.
Comments