Penyakit Timnas Indonesia

Sepakbola adalah nafas baru harapan Indonesia yang haus akan kebanggan dan prestasi. Indonesia menjadi salah satu Negara terbesar yang menjadikan sepakbola adalah olahraga favorit. Jelas badminton memulai lebih dulu berdasarkan sejarah dan prestasi yang ada. Namun fanatisme yang datang dan berkembang dari benua eropa mengajak Indonesia mengenal arti fanatisme melalui sepakbolanya. Saya mungkin tak terlalu banyak mengikuti perkembangan sepakbola Indonesia, mungkin sebagian orang yang suka bola eropa demikian juga Hehe. Tapi bukan berarti saya akan melewatkan setiap pertandingan-pertandingan seru yang ada di Indonesia. Ada hal concern sebagai penggemar sepakbola, karena terbiasa menonton sepak bola eropa yang menghibur lewat layar kaca, jika ingin menonton sepak bola Negara sendiri rasanya ogah-ogahan. Alasannya selalu sama, kalah. Jika nasionalis, oke saya siap untuk ikut ambil bagian dalam menyanyikan lagu Indonesia raya dengan lantang. Namun bicara nasionalisme, bagaimana bisa anda melihat tim anda selalu kalah namnu masih saja ditonton, salah satu nasionalisme yang tumbuh ya salah satu sikapnya seperti ini. Namun bicara kekalahan Indonesia yang terjadi dalam kurun 20 tahun kebelakang menimbulkan pertanyaan besar, potensi pemain dan supporter ada, budget pemerintah mengalir, komersial jalan terus, sponsor tinggal nyari, bahkan selalu ada doa masyarakat Indonesia. Ya jangan meluber gini topiknya ya, balik lagi ke masalah sakitnya Indonesia itu setiap kali bermain gimana sih. Berikut ulasan yang ane rangkum :

Penguasaan bola

Ngga tau kenapa setiap menonton pertandingan timnas Indonesia, selalu menilai kalo mereka ngga bisa menguasai bola. Mencoba memberikan tekanan tapi yang terjadi malah sering membuat kesalahan-kesalahan kecil yang dianggap mereka ini sepele, seperti lepas control, salah umpan, tak bisa melewati lawan, atau ngga ada pengawalan ketat pada pemain lawan. Padahal dalam sepakbola modern, hal kaya gini itu ngga boleh terjadi. Kesalahan-kesalahan seperti ini justru menjadi concern untuk bibit bibit muda saat pembinaan usia dini, yang artinya bahwa kesalahan seperti ini diperbaiki saat pemain masih menginjak remaja. Membangun sepakbola bukan seperti membangun 1000 candi dalam satu malam, dan hal ini di akui oleh timnas spanyol sendiri. Membutuhkan bahkan puluhan tahun untuk mendapatkan pemain – pemain bertalenta besar dengan system dan mutu yang baik. Kita hanya melihat luarnya spanyol namun kita lupa bagaimana peran penting PSSI-nya spanyol dalam membina pemain usia mudanya. Spanyol tak mempersiapkan pemain hanya dalam satu tahun dan menargetkan menjadi juara, namun mereka mencoba memulai dengan menciptakan pemain melalui klub-klub dan meningkatkan kualitas kompetisinya sendiri.

Fisik pemain

Indonesia berusaha untuk bermain all out dengan menyerang cepat dan mencoba untuk merebut bola dari lawan dengan cepat pula, padahal masalah utama yang Indonesia hadapi salah satunya adalah kendala lemahnya fisik Indonesia dibandingkan dengan Negara- Negara lain. Masalah fisik ini bahkan mendapatkan perhatian khusus oleh arsene wenger ketika mereka menjajal kemampuan Indonesia dalam tournya bersama arsenal. Ketika pertandingan arsenal dan Indonesian all-star usai, arsene wenger membuat statement tentang Indonesia di acara press conference :"For me, their weakness is that the players lack in physical strength." Katanya. "It is hard for me to evaluate Indonesia's football in only one match. What is important is that we all enjoyed the game." Sambung pelatih asal prancis tersebut.


Permainan terbuka

Jika melihat permainan yang diperagakan Indonesia, mereka terlalu bermain terbuka dan terburu – buru dalam menyerang. Dan jika mereka berada di posisi bertahan, mereka mengambil resiko untuk out of position mencoba merebut bola dari lawan dan akibatnya saat gagal merebut bola justru akan membahayakan posisi yang ditinggal pemain. Hal ini sering terjadi di dalam permainan sepak bola Indonesia. Bahkan tanpa disadari cara bermain Indonesia ini telah membudaya dan telah tumbuh bersama menjadi permainan yang dianggap “lumrah”. Dalam permainan seperti di sepakbola italia yang lebih sering mengandalkan permainanan yang sedikit aman namun cukup efektif untuk membangun serangan secara perlahan dan mampu membuat hasil akhir lebih positif. Kita juga mengenal dengan nama cattenacio yang merupakan bahasa yang dikenal untuk menggunakan strategi pertahanan berlapis. Atau dengan strategi lain seperti bermain ala atletico Madrid nya semione atau borussia Dortmund nya jurgen klopp, bermain lebih sabar dan menunggu lawan membuat kesalahan sendiri dan bang! mereka mampu membuat kejutan besar terhadap hasil akhir pertandingan. Bahkan tim-tim besar kewalahan mengalahkan permainan yang diperagakan tim-tim ini. Jika Indonesia ingin mengimplementasikan permainan yang sama, saya rasa bahwa hal yang tepat adalah mencoba merubah skema permainan yang tak terlalu terbuka. Pemain Indonesia selalu mencoba untuk bermain lebih menekan dan terbuka yang membuat mereka sering meninggalkan posisi aslinya, disamping membutuhkan tenaga yang lebih banyak bermain terbuka membutuhkan tingkat disiplin yang tinggi. Kedisiplinan akan berpengaruh dengan tingkat kesalahan yang dibuat pemain itu sendiri. Yap, semakin besar pemain berbuat kesalahan semakin besar pula lawan membuat peluang mencetak gol. Alfred riedl sukses kok untuk bermain disiplin ya walaupun di final, Tuhan ngasih jalan lain biar nurdin halid mundur : ) .


Persiapan tim

PSSI selalu bikin rencana besar dengan target-target tertentu, tapi project tersebut merupakan project yang sifatnya berjangka pendek. Entah mengapa, yang jelas gagal masih dipakai dalam membangun timnas dengan mengusung target tinggi. Mempersiapkan timnas dengan mengumpulkan pemain dan melakukan pemusatan latihan dalam hitungan bulan justru tak banyak memberikan pengaruh besar pada sepak bola Indonesia yang sifatnya hanya instan. Mencoba ide baru dengan mengikuti Negara Negara tetangga menaturalisasi pemain, hasilnya? Nihil. Sekali lagi dengan tanpa mengurangi rasa kesoktahuan saya, saya ingin mengalamatkan pada PSSI bahwa sepakbola bukan proyek yang bisa dibangun dalam hitungan hari atau bulan.

Kecocokan permainan

Sepakbola sekarang berkembang dengan lebih terpengaruh kepada strategi yang diracik sang pelatih dan Indonesia jelas tertinggal jauh bagaimana mereka menghadapi skema permainan lawan. Ketika kita lihat setiap kali Indonesia berlaga, yang muncul adalah banyaknya miss communication dan jarangnya permainan yang terorganisasi dengan jelas. Faktanya memang banyak sekali kekurangan dalam kualitas bermain pemain Indonesia sendiri. Banyak yang berujar bahwa Indonesia memiliki banyak pemain yang memiliki pemain yang bertubuh kecil dan cepat. Namun kualitas itu takkan ada artinya jika mereka tak bisa berbuat banyak saat pertandingan atau mungkin permainan kita sudah terbaca oleh lawan. Skema permainan kadang juga menjadi pengaruh seorang pemain sulit untuk berkembang memaksimalkan potensinya. Kita lihat banyak sekali permainan sepakbola yang terpengaruh terhadap permainan tim itu sendiri, ketika di tim A mereka menjadi kreator serangan, rutin mencetak gol, atau mampu bertahan dengan baik, namun setelah pindah ke tim B justru lebih banyak berada di bangku cadangan. Ada beberapa faktor memang yang terjadi, namun salah satunya adalah ketidakcocokan karakter bermain si pemain dengan tim itu sendiri. Jika kita melihat Fernando torres bermain di Liverpool, dia menjadi ujung tombak yang sangat ganas namun setelah melenggang ke Chelsea justru sangat sulit untuk beradaptasi. Ini adalah salah satu skema permainan yang berbeda diperagakan Liverpool dan Chelsea.

Pembinaan usia muda

Kita selalu sadar bahwa jika ingin membangun sepakbola yang baik adalah pembinaan muda. Ketua PSSI bahkan umbar-umbar omongan dengan berjanji akan mengurus pembinaan usia muda dan lebih memprioritaskan pembinaan usia muda. Namun belum terlihat seberapa pengaruh pembinaan muda yang mereka maksud, karena faktanya kurangnya kompetisi usia muda dan sekolah-sekolah sepakbola di Indonesia. Memang peran pemerintah terbatas untuk hal ini karena sudah diamanahkan ke badan yang menjadi wadah agar pelaksanaan dan perencanaan dalam mempersiapkan atlet lebih matang dan terencana. Jika mereka merasa uang adalah faktor utama, saya rasa kesalahan besar. membina usia muda bukan melulu soal uang kok, bagi setiap insan muda bertanding bukan untuk menjadikan mereka kaya, namun bertanding adalah salah satu langkah seorang pemain meraih mimpinya. Jadi kalo mereka ngga punya jalan untuk meraih mimpi, bagaimana akhirnya? mimpi tinggallah mimpi dan harus dikubur dalam dalam. Padahal jika dalam hitungan matematika tak mungkin dalam 200 juta umat manusia di indonesia tak punya talenta pemain seperti messi atau ronaldo di dalam diri salah satu orang indonesia. Jadi jika kompetisi dari paling kecil semakin digalakan dengan banyaknya kompetisi seperti liga pendidikan, piala suratin, atau indonesian super league u-19, jelas akan menciptakan bibit - bibit baru untuk siap di rekrut dan dirpoduksi menjadi pemain hebat.

Fasilitas dan rumput

Bagaimana bisa mencetak prestasi kalo fasilitas aja masih pakai dan sudah usang. Mau ngapa-ngapain manual. Ya kasian atletnya juga kales. Apalagi Indonesia memang terbiasa dengan rumput yang bisa dikatakan rumput asli. Sulit memang untuk merawat rumput dengan kualitas terbaik padahal setiap minggunya pemain menginjak rumput lapangan. Salah satu faktor yang sulit adalah tingginya biaya perawatan. Ya kalo udah masalah duit emang sulit, bayar gaji pemain aja sulit, apalagi untuk biaya rumput. miris yah :(

Comments